Sabtu, 19 November 2022

MENANTI PARA PENATALAYAN DEMOKRASI

 

Geliat  Perayaan demokrasi, Pemilu serentak tahun 2024 semakin kuat.  Setiap tahapan telah dan sedang dikerjakan oleh KPU RI dan jajarannya di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Saat Ini KPU melalui KPU Kabupaten Kota siap melakukan perekrutan badan adhock pemilu yakni  Panitia Pemilihan Kecamatan ( PPK ), Panitia Pemungutan Suarah ( PPS), Petugas Pemutakhiran Data Pemilih ( Pantarlih ), dan di tahun 2024  akan merekrut Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suarah (KPPS) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum ( PKPU) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Adhock  Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil  Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota. PKPU ini dalam turun teknisnya yakni Juknis Nomor 476 Tahun 2022.

Dalam rangkah menggaungkan pesan tentang pentingnya Badan Adhock demi terselenggaranya pemilihan Umum dan Pilkada serentak tahun 2024, Penulis menghadirkan sebuah refleksi singkat tentang peran para pelayan. Banyak literarur berbicara tentang peran yang sangat penting dari seorang pelayan bagi tuannya. Sebuah ruangan pesta yang tertata rapih, hidangan menu makanan yang lezat, dekorasi yang indah, dan hal – hal pendukung lainya ada karena ada orang- orang di balik layar yang kerja dengan penuh dedikasi, penuh komitmen.  Ibu – Ibu yang bergelut dengan panasnya api saat memasak makanan,  gadis- gadis cantik bergelut dengan piring-piring kotor , pemuda pemuda tampan  bergerak cepat mengumpulkan  sampah di tenda pesta, semuanya memaikan peran dengan penuh sukacita. Mereka adalah  Pelayan. Kadang peran mereka diabaikan.

Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 adalah perayaan yang harus dirayakan dengan  penuh sukacita. Untuk memastikan  perayaan berlangsung dengan baik maka KPU butuh penatalayan-penatalayan yang sigap, responsive , bertanggungjawab serta penuh dedikasi.

Spirit penatalayan demokrasi adalah spirit kolektif, kerjasama yang kuat.  Tiga orang PPS yang terpilih bukan sekedar karena ia lolos seleksi tetapi harus dimaknai  sebagai utusan terbaik dari Lewo, Kampung, Desa. Demikian juga  lima orang PPK yang terpilih  sebagai utusan terbaik dari kecamatan. Mereka memikul tanggung jawab besar untuk menjaga nama baik desanya, nama baik kecamatan.  Dalam perspektif budaya Lamaholot  (baca : Flores Timur dan Lembata ) utusan terbaik ini disebut ATA DIKE ( orang baik ) yang memikul Koda Kiri  ( pesan –pesan ) dari  lewo, kampung, desa dan kecamatan. Predikat Ata Dike adalah tuntutuan sekaligus keterpanggilan untuk  memberikan yang terbaik, komitmen untuk menjaga dan merawat sesuatu yang suci, luhur yakni Koda ( sabda, aspirasi ) dari para pemilih.

Sebagai utusan dari lewo, kampung,  desa, kecamatan setiap peserta mempunyai hak yang sama untuk terlibat dalam sebuah proses seleksi sesuai regulasi. Ketaatan  memenuhi tuntutan administratif juga bentuk kecil dari sebuah proses tanggung jawab  para calon. Mempersiapkan diri dengan banyak membaca  literasi tentang kepemiluan sebagai persiapan mengikuti test harus dimakani sebagai langkah untuk memantaskan diri agar tidak gagap memahami regulasi kepemiluan. Sebagai penatalayan demokrasi  bukan saja mengerjakan apa yang ditugaskan tetapi harus memahami dengan baik dan benar essensi setiap regulasi dan arah kebijakan. Darinya setiap penatalayan terus belajar menegaskan komitmen dan integritas diri sehingga mereka menjadi pewarta kabar gembira, kabar sukacita yang tidak gagap berbicara tentang kepemiluan, tetang Demokrasi.

Pada sisi lain,lewo, desa, kecamatan  dalam mendukung setiap calon yang maju sebagai panitia adhock juga punya peran besar. Mendorong setiap peserta untuk maju adalah bentuk dukungan. Membantu menyebarkan informasi pengumuman perekrutan hendaknya dimaknai sebagai suara panggilan dari lewo, desa, kecamatan yang terus hadir memberikan dukungan bagi setiap generasi pejuang demokrasi.

Ata Dike, orang baik Penatalayan Demokrasi tidak terbentuk  karena momentum perekrutan saja tetapi dari momentum perekrutan panitia adhock ini, setiap pelamar dipanggil untuk sebuah tugas perutusan. Banyak yang dipanggil sedikit yang terpilih, banyak yang melamar, jumlah yang terpilih hanya sesuai tuntutan regulasi. Sebagai calon penatalayan demokrasi, selamat berjuang dan pada akhirya ketika saudara terpilih biarkan  Koda ini  terus menginspirasimu “Kami hanyalah pelayan yang melakukan apa yang harus  kami lakukan” sebagai bentuk komitmen, bentuk ekspresi iman atas Rahmat yang Tuhan berikan.

 



Selamat Berjuang

 

19 November  2022

Sehari menjelang Pengumuman Perekrutan PPK 

Senin, 06 Juni 2022

PEMILU DALAM PERSPEKTIF BUDAYA TUTU KODA

 

Bagian Pertama

Oleh URAN Fabianus Boli

Anggota Komisioner KPU Kabupaten Flores Timur


Pemilu sebagai sarana masyarakat menyalurkan aspirasi, adalah bagian teramat penting dalam  proses membangun bangsa dan negara. Aspirasi masarakat, suara rakyat adalah suara Tuhan ( Vox Populi Vox Dei ).  Menanta sistim dan memastikan proses penyaluran aspirasi masarakat secara bermartabat, taat pada regulasi adalah tanggung jawab semua pihak  termasuk pemilih. Tanggungjawab ini bukan hanya dibebankan pada penyelenggara pemilu khususnya Komisi Pemilihan Umum  dan  jajarannya sampai pada tingkat  Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)

 

Menyongsong Pemilu serentak tahun 2024, KPU di setiap Kabupaten terus menggemakan pentingnya partisipasi masyarakat dalam  beberapa strategi sosialisasi. KPU Kabupaten Flores Timur mengemas strategis komunikasi yang disebut Tutu Koda Pemilu. Lewat tulisan singkat ini penulis mencoba menghadirkan sepenggal refleksi atas pendekatan Budaya dengan penekanan pada pilihan tema “ Tutu Koda Pemilu “

 

Masyarakat Lamaholot dalam kehidupan sosial budayanya tidak bisa terlapas dari tradisi budaya  “Koda“. Koda, kata, sabda yang menghidupkan, Koda yang mengispirasi serentak Koda mengikat.  Beberapa daerah menyebut koda dalam dialeg : tutu koda mari kiri, koda pulo  kiri lema.  Tutu berarti menuturkan. Koda: Kata, pesan, sabda.  Tutu Koda dalam terminologi budaya lamaholot dapat dimaknai  sebagai  proses menuturkan pesan pesan kehidupan yang selalu dirangkai dengan bahasa - bahas simbol. Tutu Koda sebagai mantra, doa , ikatan komitmen dalam sebuah ritual adat budaya. Kuntowijaya sebagaimana dikutip oleh Anton Baker dalam buku  Tantangan Kemanusiaan Universal (Kanisius, 1992 ) menegaskan bahwa “ Budaya adalah sebuah sistim yang mempunyai koherensi. Bentuk- bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku , mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep- konsep epistemologis dari sistim pengetahuan masyarakat ....”

 

Pemilu sebagai bagian penting dari  kehidupan masyarakat harus mampu dihadirkan dalam diskursus (tutu koda) kehidupan sosial budaya sebagai sebuah sistim pengetahuan. Slamet Sutrisno dalam artikelnya “ Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia (Kanisius, 1992 ) menegaskan bahwa “ perkembangan ilmu tidak terlepas dari perspektif nilai budaya, faktor kebudayaan merupakan penentu  bagi penguasaan dan pengembangan ilmu tersebut”. Pemahaman yang benar tentang pentingnya pemilu hanya bisa terbangun ketika proses komunikasi (koda) saling bersambung sebagaimana  padanan kata tutu koda mari kiri. Tutu : menuturkan, mari : mewartakan. Ada yang menyampaikan pesan dan  penerima pesan WAJIB melanjutkan pesan tersebut. Pesan kehidupan tidak boleh berhenti, harus terus digemahkan. Prinsip koherensi, keselarasan menegaskan nilai kesakralan dari koda tersebut sehingga harus dikawal tidak boleh dibelokan. Intinya Koda jangan dipolitisasi, jangan dinarasikan dalam bingkai HOAX.

 

Tutu Koda pemilu menujukan bahwa Pemilu adalah sebuah kesempatan yang teramat berharga bagi masyarakat untuk menyalurkan, menyerahkan koda, aspirasinya kepada Ata Dike ( orang baik ) yang dipercayai dapat mengemban, menterjemahkan serta mewujudkan koda tersebut. Konteks Koda sebagai sebuah amanat yang berharga menegaskan tentang sebuah nilai kebenaran. Koda yang dipercayai sebagai sebuah kepasrahan dalam dialog dengan wujud tertinggi serta para leluhur menegaskan tentang kesetiaan pada kebenaran bukan sebagai sebuah upaya memanipulasi  kejahatan terselubung.

 

Menyampaikan pesan pemilu adalah kesetiaan dalam membawakan serta mewartakan  kabar gembira, bahwa melalui pemilu dan pemilihan masyarakat berdaulat atas koda- kodanya. Untuk itu kedaulatan ini harus dilindungi dari segala upaya penghancuran melalui  berita berita bohong, berita manipulatif serta politik identitas yang terus marak dimainkan di media sosial. Kesadaran sebagai Ata Dike ( orang baik, bermartabat ) hendaknya menjadi penutun bagi semua penutur demokrasi. Para politisi yang akan maju menjemput koda- koda hendaknya menjaga martabat koda tersebut dari upaya perendahan martabat dengan praktek- praktek tidak benar seperti politik uang.

 

Koda Beridentitas Ata Dike

 

Setiap orang berhak dan berdaulat atas kehendaknya, aspirasi, harapan.  Kedaulatan yang tidak bisa diwakilkan ketika pemilih menggunakan hak konstitusinya. Ata Dike, Pemilih yang berdaulat juga wajib memastikan telah memiliki identitas diri yakni KTP-el serta terdaftar dalam daftar Pemilih.  Beridenitas dapat dimaknai sebagai kewajiban untuk mengawal kedaulatan  kodanya.  Kejelasan identitas  yang dapat dibuktikan menujukkan bahwa Koda yang akan diamanatkan ke calon wakil rakyat, ke calon pemimpin  adalah koda yang benar karena pemilik koda itu sendiri yang memberikan mandatnya. 

Kebenaran identitas sebagai warga negara Indonesia hanya dapat dibuktikan  dengan kepemilikan KTP- el.  Sebagaimana  penjelasan Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrullah atas isu  kepemilikan KTP-el Warga Negara asing, dikaitkan dengan persiapan Pemilu serentak tahun 2024  yang dimuat di  harian Kompas, 1 Juni 2022. (https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/01/174500165/penjelasan-kemendagri-soal-isu-e-ktp-wna-dikaitkan-dengan-pemilu-2024-?page=all#page2) . Warga Negara Indonesia  dan warga Negara Asing sama sama memiliki KTP-el tetapi ada perpedaan sebagaimana penegasan dalam pasal 63 undang-undang nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Persyaratan bagi WNA yang akan memiliki KTP-el wajib memiliki Kartu Izin Tinggal Tetap ( KITAP ).  Meski memiliki KTP-el WNA yang ber KTP- El tidak bisa menggunakan hak Pilih dan tidak bisa dipilih. Hanya dengan ada kepastian memiliki dokumen KTP-el yang menegaskan  tentang Identitas sebagai Ata Dike – warga negara Indonesia maka pemilih boleh dan wajib mendaulatkan kodanya, aspirasinya.




 

Koda dalam Wadah Gebia  Waja

 

Gebia adalah tempat menaruh siri pinang. Waja adalah menyuguhkan.  Gebia waja selalu ditempatkan  di titik sentral dalam sebuah acara, ritus ada juga dalam urusan sebuah persoalan, termasuk urusan pernikahan. Gebia Waja sebagai sebuah simbol persatuan, perdamaian. Setiap orang yang hadir dalam sebuah kegiatan wajib deba ( menyentuh ) Gebia dan bisa menikmati siri pinang. Gerakan tangan deba Gebia  menegaskan pergerakan seluruh jiwa dan raga untuk menjadi bagian yang utuh, tidak terpisahkan. Gebia waja juga sebagai sebuah media undangan untuk masyarakat hadir dalam sebuah kegiatan  pesta sosial budaya.

 

Jawaban atas undangan ini,masyarakat merasa “ WAJIB “ hadir dan biasanya membawakan sesuatu untuk membantu tuan pesta. Jawaban atas Gebia Waja pemilu yakni undangan untuk hadir di tempat pemungutan suara,  masyarakat  wajib membawa dua hal penting yakni dokumen KTP-el atau Surat Keterangan ( Biodata Diri ) yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan pencatatan Sipil dan Koda kiri  (  aspirasinya, pilihannya) sebagaimana ditegaskan dalam PKPU Nomor 18 Tahun 2020  tentang Perubahaan Atas Perarutan Komisi Pemilihan Umum  Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali kota dan Wakil Wali Kota. Pasal 7 ayat (2) “Dalam memberikan suara di TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemilih menyerahkan formulir Model C.Pemberitahuan-KWK dan menunjukkan KTP-el atau Surat Keterangan kepada KPPS.”.  Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga  dapat dimaknai sebagai wadah Gebia Waja, tempat pemilih menyampaikan pesan, meletakan koda kirinya. Koda yang dituturkan di atas wadah Gebia waja adalah simbol sebuah ikatan doa, harapan. Ada tututan moril, keterpanggilan bagi yang diamanatkan koda  ini.

 

Keberanan Koda Melalui Pencaharian

 

Para penutur sastra yang ditemui penulis selalu mengisahkan bahwa untuk menuturkan sebuah kisah asal usul atau hendak menyampaikan sapaan adat dalam sebuah peristiwa ritual adat, selalu melakukan sebuah ritual sebelum kegiatan berlangsung. Malam harinya sang penutur sastra melakukan ritual yang disebut “ Tura Neda Lone Kemie Padu “. Sebuah upaya meminta petunjuk dari leluhur melalui mimpi agar  kata kata yang akan disampaikan adalah  “ Mure wene”, kata yang benar sesuai dengan asalnya, sesuai dengan pokoknya. Tradisi Tura Neda  selalu dilakukan oleh para leluhur dalam menentukan sebuah tempat untuk membangun rumah. Apakah tempat tersebut aman. Di mana seharusnya letak pintu utama. Tura Neda juga selalu dilakukan oleh pelaku tradisi untuk mengurai kesalahan - kesalahan (dosa) yang dibuat oleh para leluhur dan dampaknya dirasakan oleh anak cucu. Tura Neda, sebuah upaya pencarian kebenaran akan esensi dari Koda Kiri pulo lema. Tura : Mimpi, Neda, sebuah alas, bantal yakni sarana yang disebut kemie padu. Kemie : Buah Kemiri. Padu : lilin dari  kemiri ( buah kemiri kecil yang biasa digunakan sebagai lilin/pelita). Tura Neda dapat dimaknai  melalui landasan yang benar,  sang pencari kebenaran dituntun oleh cahaya menuju kebenaran itu.

 

Tradisi “ Tura Neda” upaya mencari kebenaran koda, telah diwariskan oleh para leluhur sebagai sarana untuk memuliahkan kehidupan dan kemanusiaan. Leluhur mengajarkan bahwa sebuah peristiwa harus mampu dilihat, dibaca dan dimakanai secara mendalam.  Proses mencarinya pun harus menggunakan alas, sumber yang benar, sarana yang tepat. Pemilu dan Pemilihan tidak terlepas dan sepih dari  publikasi berita berita bohong atau hoax. Keutuhan  berita sering dipotong. Sebuah peristiwa yang terdokumentasi dalam foto sering diedit dengan narasi yang berbeda dan setitikpun tidak ada nilai kebenaran dari narasi tersebut. Hasil penelitian MAFINDO ( Masyarakat Anti Fitnah ) mengklasifikasi hoax dalam dua klasifikasi yakni umum dan akademis.  Klasfikasi umum sangat sederhana yakni masyarakat memahami berita tersebut  Benar atau Bohong/Hoax. Sedangkan klasifikasi akademis menyangkut  kekacauan informasi yang mencakup miss-informasi, dis-informasi dan mal-informasi. MAFINDO  juga dalam penelitian selama september 2019 menyimpulkan bahwa penyebaran informasi  hoax menggunakan kombinasi Narasi –foto, Narasi Video yang umumnya disebarkan melalui Facebook dan Whatsapp ( pesan berantai ) di mana isu politik lebih mendominasi.

 Regulasi Pemilu sebagai Dasar Kebenaran Informasi

 

Para pemilih ketika berhadapan dengan berita bohong  dengan tingkat literasi  yang rendah dan keengganan untuk mencari sumber yang kompeten untuk mengklarifikasi sebuah berita, menyebakan pemilih mudah terjebak dalam lingkaran kebohongan serta menjadi korban.   Leluhur telah mewarsikan nilai tradisi mencari kebenaran. Sebagai pemilih yang berbudaya, masyarakat, pemilih  wajib bersikap kritis. Pemilih harus bertanya pada penyelenggaran pemilu, KPU dan jajarannya sampai di tingkat desa berkaitan dengan aspek aspek teknis kepemiluan, bukan mendasarkan diri pada padangan dari pihak lain yang bukan penyelenggara.  

 

 Nilai Tradisi Lone Kemie Padu harus menjadi inspirasi bagi pemilih yang berjiwa ata dike  (baca pemilih cerdas ).  Undang- udang nomor  7 Tahun 2017  Tentang Pemilihan Umum yang selanjutnya diterjemahkan lebih teknis dam spesifikasi dalam beberapa  Peraturan Komisi Pemilihan Umum adalah dasar rujukan bagi KPU dan jajarannya. Maka Pemilih yang cerdas ketika berhadapan dengan ketidakjelasan informasi harus bertanya pada KPU dan Jajarannya  bukan mendasarkan diri pada pandangan seseorang atau lembaga lain yang mungkin menggunakan  rujukan di luar regulasi ini, apalagi menggunakan intepretasi pribadi yang jauh dari kata kebenaran.

 

Kepatuhan pada regulasi juga wajib hukumnya dilaksanakan oleh KPU dan jajarannya. Para penyelenggara sampai pada tingkat desa, satu suara, satu pemahaman atas regulasi. Para Panitia Ad Hock ( PPK sampai KPPS ) wajib taat  pada regulasi dan tidak boleh membiarkan integritasnya diobok- obok oleh pihak lain. Berpijak pada regulasi adalah langkah tepat memastikan diri aman dari upaya mengkriminalisasi penyelenggara sekaligus menegaskan integritas diri sebagai penyelenggara.



 

 Bersambung.....

Minggu, 15 Agustus 2021

PARTISIPASI KEMITRAAN HOLISTIK MENUJU PEMILU DAN PILKADA 2024 CATATAN LEPAS PASCA WEBINAR DATA PEMILIH

  Catatan Lepas Pasca Webinar Data Pemilih

Kamis, 5 Agustus 2021, KPU Kabupaten Flores Timur dari studio mini Ruang Pendidikan Pemilih ( RPP) telah melaksanakan kegiatan Webinar Data Pemilih secara daring dengan Tema “ Data Pemilih Dalam Perspektif Partisipasi Kemitraan Holistik”.  Kegiatan yang melibatkan tujuh orang narasumber dan para peserta yang berasal dari banyak daerah serta dari banyak unsur menjadi sebuah momentum refeleksi bersama para penyelenggara pemilu, pemerintah, masyarakat , para pemerhati pemilu dan demokrasi bahwa Data Pemilih adalah tanggung jawab bersama. Uraian kompleksitas data pemilih yang dialami dalam setiap tahapan pemilu dan pilkada telah mendorong KPU Kabupaten Flores Timur melakukan sebuah gerakan sebagai terjemahan dari regulasi tentang perawatan dan pemutakhiran data pemilih yakni Gerakan Pulang Kampung atau bale nagi. Sebuah gerakan yang melibatkan semua komisioner, sekretariat untuk berkoordinasi dengan daerah asal dan tempat domisili untuk bersama melakukan pencermatan  dan pemutakhiran Data Pemilih Tetap ( DPT ) 2019. Gerakan ini bukan sekedar memutakhiran data pemilih saja tetapi sebuah aktus mewartakan pentingan Data yang bersih dan termutakhir, sebuah seruan mengajak masyarakat dan pemerintah untuk membangun kesadaran bersama bahwa Pemilu yang berkualitas adalah keterpanggilan tanggung jawab komunal, demikian tegas ketua KPU Kabupaten Flores Timur di sesi awal saat membuka kegiatan webinar.

 

 

Kompelksitas Data Pemilih bukan terletak saja pada proses mencoret Pemilih yang Katogeri Tidak memenuhi syarat ( TMS ), atau menambah pemilih baru serta ubah elemen data, tepai lebih dari itu  sikap pasif dari masyarakat yang belum sadar pentinganya tertib administrasi penduduk. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Flores Timur, Marianus Nobo Wato, SE dalam pemaparan materinya, dengan judul “ Tertib Administrasi dan Pelayanan yang Responsif “ menegaskan bahwa data penduduk yang berkualitas adalah tanggung jawab semua pihak terutama peran aktif dari masyarakat dalam melaporkan peristiwa kependudukan, sebagaimana spirit  “ Gerakan Indonesia Sadar Adminduk “ ( GISA ) yang dilauncing pada tahun 2018. 

 

Dalam refleksi kesadaran akan pentingnya data penduduk yang berkualitas serentak mendukung tersedianya data Pemilih yang bersih dan termutakhir maka,  Disdukcapil bersama KPU Kabupaten Flores Timur melakukan terobosan dalam aspek pelayanan dengan pendekatan aplikasi yang disebut SIADIL. Pendekatan aplikasi ini lahir dari sebuah refleksi bersama atas sikap apatis masyarakat dalam melaporkan persitiwa kependudukan khususnya peristiwa kematian. Keenganan masyarakat dalam mengurus laporang kematian keluarga yang meninggal dunia, menurut Alwan Ola Riatobi sekretaris JPPR ( Jaringan Pendidikan Pemilihan untuk Rakyat )  yang hadir sebagai narasumber secara daring, tidak terlepas dari struktur budaya lamaholot yang lebih sibuk urus adat berkaitan kematian ketimbang  kesadaran segerah ke Capil untuk urus dokumen kematian. Hal lain yang disorot beliau adalah sikap apatis dari masyarakat yang tidak sibuk urus dokumen kependudukan tetapi ketika namanya tidak ada dalam daftar maka akan membuat kegaduhan.

 

Persoalan data pemilih bagi Alwan adalah persoalan klasik yang selalu hadir dalam setiap hajatan pemilu dan pilkada. Dalam pandangan beliau, Data Pemilih dalam pendekatan prinsip adalah hal yang sangat teknis tetapi berdampak secara substansial. Aspek teknis menambah yang memenuhi syarat dan mencoret yang tidak lagi memenuhi syarat.  Aspek substansi berdampak pidana jika yang telah memenuhi syarat tidak didata diakomodiri untuk menggunakan hak konstitusionalnya.  Pendekatan lain adalah Administrasi. Proses menghadirkan Daftar Pemilih Tetap melalui rangkaian proses administrasi dan sekian banyak varian yang membantu masyarakat untuk dapat menggunakan hak pilihanya baik sebagai pemilih dalam DPT, pemilih tambahan atau pemilih pindah memilih. Rentang proses yang panjang ini jika tidak didukung dengan kesadaran partisipatif masyarakat maka dapat menimbulkan persoalan persoalan. Untuk itu pendidikan pemilih menjadi sangat penting, sebagai upaya menterjemahkan regulasi berbasis konteks lokal serta membumikan pendekatan pendekatan berbasis aplikasi  yang  selama ini digunakan dan ini harus terus dibumikan di bumi lamaholot secara massive. Perlu konektivitas sebagai jembatan yang melibatkan multi pihak.   Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan merupakan strategis mitigasi untuk mengurai kompleksitas permasalahan data pemilih,  tegas Alwan. Senanda dengan Alwan,  Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perludem  menegaskan  permasalahan dalam pendaftaran pemilih menyangkut tiga aspek yakni aspek sistimatis, managemen dan teknis pelaksanaan. Aspek sitimatis  meyangkut sumber data dan regulasi. Aspek managemen muncul karena permasalahan pada tingkat regulasi sedangkan aspek teknis pelaksanaan  berkaitan dengan permsalahan hubungan penyelenggara dan stakeholders di lapangan.

 

 

Tiga aspek permasalahan ini harus dimanage dengan baik sehingga tidak menimbulkan  gejolak gejolak yang menguras energi dan waktu dalam menyongsong dan mensukseskan Pemilu dan Pilkada tahun 2024. Untuk itu menurut Iis, sapaan beliau,  perlu memperkuat dasar hukum  dan regulasi sharing data, mekanisme komplain dan update yang aksesibel serta memperkuat sistim kontrol dan keamanan secara sistim dan organisasi. Berkaitan dengan keamanan data pemilih sebagaimana amanat dalam regulasi, ketua KPU Kabupaten Flores Timur menegaskan di awal sambutannya bahwa KPU Kabupaten Flores Timur sangat menekankan keamanan informasi data pemilih sehingga tidak disalahgunakan pihak lain. Hal ini pun dipertegas oleh Fransiskus Edy Diaz, ketua Divisi Program dan Data KPU Provinsi NTT yang hadir langsung di studio mini. Beliau  menegaskan beberapa poin khusunya syarat memilih dengan menggunakan e-KTP. Regulasi menekankan bahwa pemilih wajib menunjukkan e- ktp atau suket bahwa telah melakukan perekaman e- ktp selama proses coklit dan pada saat pemungutan suarah. Dari aspek pengawasan, ketua Bawaslu Kabupaten Flores Timur, Arifin Atanggae menegaskan bahwa peran Bawaslu Kabupaten Flores Timur selama ini, kaitan dengan pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan terus berkontribusi melakukan pengawasan juga melakukan inisiatif mengambil data dari beberapa desa, melakukan pencermantan dan menyerahkan ke KPU Kabupaten Flores Timur untuk proses selanjutnya. Peran Bawaslu tidak hanya sebatas pada pengawasan tetapi proaktif melakukan advokasi kepada masyarakat, desa  dan instansi pemerintah untuk bersama sama berkontribusi mendukung KPU dalam melakukan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan ( PDPB ).

 

Pola kemitraan ini mendapat appresiasi dari Viryan Azis, Ketua Divisi Program dan Data KPU RI yang hadir secara daring. Beliau menegaskan bahwa  praktek baik  ini merupakan sebuah  semangat kebersamaan dalam managemen tata kelola data pemilih. “ Kita berada pada kondisi dan kesempatan untuk memperbaiki dan meningkatkan demokrasi elektoral kita “ tegasnya. Lewat kemitraan partisipatif diharapakan data pemilih semakin berkulitas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Literasi Data Pemilih sebuah Keharusan dan Keterpanggilan

 

Dari uraian – uraian dan rangkuman atas  beberapa poin dari Webinar ini, penulis menyajikan sebuah refleksi  tentang pentingnya Literasi Data Pemilih sebagai sebuah keharusan serentak keterpanggilan  dalam beberapa poin- poin :

 

Kesadaran ber e- KTP sebuah Literasi Pemilu

 

Regulasi Administrasi Penduduk Nomor 23 Tahun 2006 telah menegaskan bahwa warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun atau pernah kawin wajib memiliki e- KTP. Dan syarat untuk warga negara Indonesia menyalurkan hak konstitusionalnya juga wajib ber – EKP. Rendahnya kesadaran akan pentingnya dokumen kependudukan termasuk  e- KTP ini sering dijumpai dalam setiap tahapan pemilu. Satu contoh adalah perpindahan penduduk yang tidak disertai dengan pengurusan pindah dokumen kependuduk. Saat proses coklit, ditemukan warga yang memiliki dokumen kependudukan, baik e- KTP  maupun Kartu Keluarga tidak sesuai dengan kondisi real , wilayah tempat tinggal. Contoh lain adalah, alamat domisili di Kartu Keluarga berbeda dengan alamat di e- KTP. Sikap tidak peduli untuk urus dokumen  kependudukan sering menjadi sebuah batu sandungan bagi para penyelenggara di tingakat Desa. Sebuah contoh, refleksi atas  Pemilu 2019. Seorang pemilih yang telah ditetapkan dalam DPT di wilayah desa asalnya, tapi telah pindah domisili. Dokumen yang diurus hanya Kartu Keluarga sedangkan tidak ada perubahan elemen alamat di e- KTP. Pada masa pencermatan data pemilih dari proses Daftar Pemilih Sementara ( DPS ) sampai penetapan Daftar Pemilih Tetap  ( DPT ) yang bersangkutan tidak melaporkan diri ke panitia pemungutan suarah ( PPS ). Pada hari H, bersangkutan datang ke TPS, memaksa untuk menggunakan hak pilih dengan membawa Kartu Keluarga. Dengan alasan sudah tinggal lama di wilayah tersebut, pengawas TPS dan para saksi pun mendesak KPPS di TPS untuk mengakomodir yang bersangkutan. 

 

Poin dari contoh ini, adalah masih rendahnya literasi pendidikan pemilih di tingkat penyelenggara  dan para saksi dari partai politik serta masyarakat.  Untuk itu semangat partisipasi kemitraan  dari semua pihak sangat diharapkan agar kompelsitas permasalahan data pemilih dapat diatasi.

 

 

Kesadaran Litarasi -  Regulasi Data Pemilih

 

Regulasi sebagai dasar bagi KPU dalam menjalankan semua tahapan pemilu. Regulasi juga sebagai  sarana untuk meneropong, dan mengawasi KPU baik oleh masyarakat, partai politik  juga Badan Pengawas Pemilu. Literasi Data Pemilu menegaskan bahwa  dokumen penting sebagai syarat utama dalam pemilu adalah E- KTP bukan yang lain. Kesamaan pemahaman atas regulasi sangat penting sehingga tidak terjadi polemik. Pentingnya pemahaman yang jelas atas regulasi sehingga pesan yang disampaikan ke masyarakat juga sama.

 

Memiliki Dokumen e- KTP  sebagai Kesadaran  Berkomunitas

 

Dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga, e- KTP bukan sekedar kewajiban bersifat administratif  saja tetapi lebih dari itu adalah sebagai sebuah keterpanggilan untuk mengikatkan diri dalam sebuah tatanan masyarakat, dalam sebuah ikatan berkomunitas ( baca: Desa/Kelurahan ). Dengan memastikan diri terdata secara administrasi di desa/ keluarahan, masyarakat secara langsung telah terlibat dalam membangun desa/kelurahan  yang tertib administrasi. Harus disadari bahwa data penduduk bukan sekedar data tetapi ia adalah sebuah potensi besar untuk  proses pembangunan. Potensi ini harus dikemas dan dikomunikasikan dengan baik sehingga masyarakat sadar akan hak dan kewajiban mereka. e- KTP dalam terminologi lamaholot dapat dimaknai  sebagai sebuah tanda “ Ata Dike “ orang baik yang sadar akan siapa dirinya, yang sadar di mana ia hidup, berkarya dan berinterkasi dalam tatanan sosial budaya.

 

 

Data Pemilih, Mendata Ata Dike

 

Proses pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan hendaknya dipahami sebuah sebuah aktus yang memangil ribu ratu ( masyarakat )  Ate Dike yang telah memenuhi syarat untuk maju, ambil bagian dalam  membangun sebuah tatanan komunitas  yang lebih baik. Sebagai Ata Dike, orang baik, maka kesadaran mendaftarkan diri dan memastikan dirinya, keluarganya  terdaftar dalam Data Pemilih hendaknya menjadi sebuah keterpanggilan jiwa sebagai warga negara yang bertanggung jawab atas proses demokrasi elektoral yang berkualitas. Sikap apatis, tidak peduli, tidak memberikan informasi yang benar, tidak responsif mengurus dokumen kependudukan dapat direfleksikan jauh dari nilai nilai sebagai  Ata Dike.

 

Tutu Koda Pemilu

 

Mendata Ata Dike adalah sebuah proses tuto koda, ( berkomunikasi )  menyapa orang, memanggil orang –orang, menyampaikan tentang pentingya data pemilih untuk keberlangsungan proses memilih Ata Dike yang akan memimpin lewotana -  ribu ratu ( Kampung, Daerah ). Tutu Koda adalah proses komunikasi yang melibatkan semua pihak, ada ruang berbagi informasi. Kesempatan ini hendaknya digunakan dengan baik oleh masyarakat untuk memastikan identitas dirinya tercatat dengan benar sekaligus memastikan dokume kependudukannya ada, tersimpan dengan aman.

 

Menjelang Pemilu dan Pilkada tahun 2024, literasi literasi tentang pemilu  hendaknya terus digaungkan bukan hanya oleh KPU saja tetapi semua pihak termasuk pihak partai politik. Partai Politik hendaknya memainkan peran, menginformasikan ke para konsituen mereka, ke publik tentang syarat - syarat memilih, mendorong calon pemilih untuk segerah medaftarkan diri mereka, memastikan warga memiliki dokumen kependudukan. Lewat kebijakan anggaran seharunya  partai politik juga mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian khusus  dalam proses membangun data base kependuduk, bagaimana mendorong pemerintah agar desa- desa dalam kewenangan lokal berskala desa  sesuai dengan undang – undang desa mampu mengemas sistim data base kependudukan yang terintegrasi dengan dinas kependudukan dan pencatatan sipil , dina- dinas lainya, lembaga negara termasuk KPU tingkat kabupaten. Lewat tutu koda Pemilu, semua pihak saliang bersinergis, berbagi peran mewujudkan data pemilih yang bersih, termutakhir.

 

Kiranya dengan semangat bersama, dalam kemitraan yang berakar budaya, semua pihak boleh mengambil bagian  sebagai penatalayan demokrasi , menata satu bagian penting yakni Data Pemilih , Data Ata Dike Lamaholot.


tulisan ini juga telah diedit dan dimuat di media online  AUDIENS.ID

DATA PEMIIH DALA PERSEKTIF PARTISIPASI KEMITRAAN




Fabianus Boli Uran

Divisi Program dan Data KPU Kabupaten Flores Timur













Kamis, 15 Oktober 2020

SARUNG, SELEMBAR KAIN DALAM BALUTAN TRADISI LEWOTOBI- LEWOURAN

 

Tulisan  sederhana ini saya  persembahkan untuk orang- orang ( para perempuan ) yang masih setia dan mencintai profesi sebagai Penenun Sarung. Melalui tulisan sederhana ini penulis mencoba menyajikan beberapa informasi tentang proses dalam tenun ikat. Dan dibagian akhir Penulis menyajikan Refleksi Sarung dalam tuturan tradisi masyarakat di sekitar Lerang gunug Api Lewotobi dengan merefleksikan simbol Patung Wulu, patung seorang ibu yang sedang menenun sambil menyusui bayinya. Patung yang dipercayai sebagi Dewi Hujan.

 

Proses menghasilkan Sarung melalui beberapa Tahapan. 

 

 Mula Kape

 

Mula : Menanam. Kape : Kapas.

Di setiap ladang para petani, para petani di setiap musim menanam selalu memastikan ada tanaman kapas.  Tradisi ladang dengan tanaman kapas masih dipertahankan oleh orang tua penulis sampai saat ini. Ibunda Penulis selalu memastikan tanaman kapas dan Tou selalu ada di ladang. Saat penulis masih usia Sekolah Dasar penulis selalu membantu orang tua memetik buah kapas. Mengenang masa- masa itu, tanpa sadar orang tua mengajari penulis cara mencintai tradisi.

 

Tradisi menanam kapas karena para penun sarung waktu itu belum mengenal benang- benang yang di jual di tokoh- tokoh. Tradisi menanam kapas menunjukkan bahwa para petani tidak hanya fokus pada hasil pertanian tetapi memastikan tradisi tenun ikat harus terus dilestarikan. Sarung, Senae adalah pakain tradisional. Dengan memastikan sekian banyak pohon Kape, Tou serta gebuke di dalam ladang,  para petani khususnya para ibu- ibu, para gadis ( masa dulu ) telah merencanakan berapa sarung, berapa senae yang akan mereka hasilkan dalam satu bulan. Selain itu hasil dari Kape yang akan diolah menjadi benang juga menjadi sebuah alat tukar dalam perdagangan. Penulis masih ingat, beberapa pedagang dari wilayah Sikka datang membawa parang dan ditukarkan dengan  Kape Bolo. ( Benang gulungan. Kebutuhan kapas ( kape ) bukan hanya untuk tenun ikat saja tetapi dalam ritual- ritual kehidupan, kapas (lelu) menjadi sebuah material penting untuk pelaksanaan ritual termasuk ritual- ritual berkaitan dengan ladang yang disebut braha.

 

 

 

Masihkah adakah  Tradisi Mula Kape?

 

Penulis sebagai petani menyadari bahwa saat ini hampir tradisi mula kape sudah perlahan punah. Hampir di setiap ladang , para petani kurang memastikan tumbuhan Kape ini. Ini dipengaruhi oleh beberapa faktor :

  1. Minat para penenun sarung di kalangan generasi mudah sangat rendah.
  2. Produk- produk Benang banyak dijual di tokoh- tokoh
  3. Untuk menghasilkan benang dari Kapas butuh waktu, ketekunan dan ketelitian

 

 

  1. Buna Kape dan Balo Kape

 

Setelah Buah kapas dipetik, tahapan selanjutnya adalah Buna Kape. Kegiatan membersihkan buah kapas sebelum masuk tahapan Balo kape. Balo Kape adalah Proses menggiling biji kapas utuk memisahkan kapas dari biji kapas, menggunakan alat yang disebut menalo

 

 

  1. Buhu Kape.

Setelah kapas yang dihasilakn dari proses Bolo Kape, tahapan selanjutnya adalah Buhu Kape. Proses mengurai kapas yang masih padat agar mudah diproses menjadi benang. Proses ini menggunakan alat yang disebut menuhu, alat seperti busur anak panah.

 

  1. Golo Kape

Golo kape adalah proses mengambil kapas yang berkualitas setelah proses Buhu. Peralatan yang digunakan adalah sebatang bambu yang disebut Wulo.   Batang bambu tersebut di putar putar di tengah tengah kapas agar kapas kapas tersebut mudah disatukan.

 

  1. Pute Ture

Setelah Proses Golo Kape, tahapan selanjutnya adalah  Pute Ture. Proses memintal kapas menjadi Benang.  Proses ini dapat dilakukan secara pute dengan menggunakan alat yang disebut  Mute atau dengan cara Ture,  dengan alat yang digunakan   yakni Menure.

 

 

  1. Blei Kape.

 

Setelah benang yang dihasilan, tahapan selanjutnya adalah membentuk benang- benang tersebut menjadi sebuah ikatan yang disebut Blei Kape

 

 

  1. Pui Kenume

 

Pui Kenume adalah proses membuat motif sarung.  Pui : Mengikat. Kenume : Motif, bentuk. Untuk membuat motif para penenun menggunakan media tali yang terbuat dari Ketebu. Namun sekarang  ketebu sudah jarang digunakan. Para penenun lebih menggunakan tali Rafia atau tali- tali dari bekas karung plastik.  Setiap keluarga dan keturuannya mempunyai motif/kenume  berbeda beda. Ini seperti Hak Paten. Motif tersebut tidak boleh digunakan oleh orang lain. Menutur tuturan lisan, jika ada orang lain yang menggunakan motif yang bukan milik mereka,  dan diketahui oleh pemiliknya maka  Kenume tersebut akan dirusakan. Kadang pemilik langsung mengambil pisau dan geta ( memotong benang- benag tersebut ).  Dalam tuturan tradisi, para orang tua mewarisi putra putri mereka dengan harta warisan dan keterampilan. Bagi anak laki- laki  diwarisi “  gena nura newa tana ekan,  sedangkan anak perempuan “anak berwei sera kenire “( kenume ). Kenire : motif.

 

  1. Gebo Kape

 

  Setelah proses membut motif, tahapan selanjutnya adalah Proses mewarnai kapas yang disebut Gebo Kape. Material yang digunakan dalam bahasa daerah disebut Tou, Gebuke, dan beberapa material lainnya.

 

 

  1. Neke Tane

 

Neke Tane adalah proses menenun sarung. Bunyi sentakan alat tenun seperti sebuah melodi mengalun lembut di kesunyian dari pondok- pondok, dari Ori- Ori. Tapi   rangkaian dawai melodi  yang bersahut- sahutan ini sudah  ( kurang ) tak terdengar lagi. Hanya terdengar sesekali, dan berjauhan. Gemericik peralatan tenun ikat bukan lagi menjadi sebuah nyanyian rindu tapi mungkin perlahan peralatan- perlatan  tenun ikat akan menjadi saksi tentang kearifan yang perlahan punah.

Hasil dari Neke Tane yakni Sarung, selain digunakan sebagai pakaian, juga dijual. Tuturan lisan dari orang tua penulis, dulu mereka pergi menjual sarung dengan sebutan  Pana Wule Bua Dage.  Pana  : berjalan kaki : Wule : berbulan bulan . Bua : berlayar, Dage, Berdagang.   Mereka pergi menjual Sarung, selain dibeli dengan uang juga ditukarkan  dengan Beras, jagung. Masa itu adalah masa- masa paceklik.

 

 

 

Sarung Simbol Kesatuan dan Kekuatan Cinta

 

Tahun 2003 saat Penulis melakukan Kajian warisan Budaya tentang Patung Wulu,  Penulis merefleksikan tentang Keagungan Sarung di tangan seorang Ibu. Patung Wulu adalah Patung Dewi Hujan. Bentuknya, seorang ibu yang menenun sambil menyusui bayinya.

 

Sarung adalah pakaian tradisional masyarakat Lamaholot. Sarung  dihasilkan melalui sekian tahapan, setiap proses dan seluruh material berasal dari bumi, dari potensi- potensi lokal. Setiap helai benang disentak satukan oleh kekuatan cinta  seorang wanita.

Patung Wulu merupakan sebuah simbol tentang peran seorang ibu dalam menyiapkan kehidupan yang dipercayakan Tuhan, Lera Wulan Tana Ekan.  Di tengh kesibukan menenun sarung seorang ibu tidak lupa akan tugasnya memberikan ASI bagi anaknya. Cara berpakaian yakni sugi menunjukkan bahwa ketika bayi membutuhkan ASI, ibu dengan sigap memberikan ASI. Ujung kain sarung yang disatukan dengan  menggunakan sebuah kayu, akan cepat dilepaskan, dan serentak  ibu menyodorkan puting susu ke anaknya.  

 

Refleksi mendalam tentang Patung Wulu dalam sudut padang Sosial Religius dapat dibaca pada link : https://www.kompasiana.com/uran/552884ac6ea83439778b45c0/memaknai-warisan-budaya-patung-wulu-dalam-refleksi-kehidupan-masyarakat-lewotobi






 

Bersambung

 

Uran Faby

Selasa, 14 Juli 2020

KEAJAIBAN WAI UHE WATO LOTA


TUTURAN TRADISI KAMI BERNAMA WAI UHE WATO LOTA
BUKAN BATU ROTI

Lokasi Pusat Wato Lota

Tulisan ini disajikan sebagai sebuah penjelasan atas tuturan tradisi di Lewouran, Ile Bura berkaitan dengan lokasi wisata yang saat ini menarik perhatian khalayak dan ramai dikunjungi. Beberapa video dan tulisan singkat tentang lokasi wasata ini sudah penulis sajikan di laman media sosial. Kini Penulis kembali menyajikan tulisan ini dengan tujuan agar sejarah dan identitas kawasan ini dapat dipahami secara utuh mulai dari nama yang benar hingga kepada nilai-nilai spiritual dan ekologis yang berkaitan dengan lokasi ini.  Dengan penyebutan dan pemaknaan nama yang benar, diharapkan agar generasi muda dan semua yang berasal dari Lewouran serta  para pengunjung situs ini tidak lagi menyebut kawasan ini dengan nama yang tidak mencermikan identitas tempat ini, tetapi sebaliknya kembali menaruh rasa hormat terhadap nilai-nilai sakral tradisi Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paji Wuri.

Lewouran di dalam tuturan tradisi setempat disebut dengan Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paji Wuri. Ungkapan Duli Detu Saka Ruka Paji Wuri menegaskan tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat Lewouran yang merangkai kisah-kisah peradaban mereka dalam tarian kesunyian, yang terus menerus menghayati nilai-nilai kehidupan dalam keheningan relasi kosmik. Ulasan tentang makna Lewouran ini dapat dibaca di dalam buku Penulis dengan Judul “Di Balik Kesunyian lewouran Duli Detu Saka Ruka Paji Wuri ".

Warisan alam yang indah yang dinamai Wato Lota tidak dapat dihayati secara tersendiri, terlepas dari filosofi nama Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paji Wuri. Bentangan Wato Lota pun tidak dapat dilepaspisahkan dari keberadaan Sumur Legenda Wai Uhe yang terletak langsung di kawasan yang sama. Sebelum mengujungi dan menikmati keindahan alam di Kawasan Wai Uhe Wato Lota, para wisatawan perlu disajikan informasi yang benar sesuai dengan tuturan tradisi asli Lewouran, bukan tuturan dari sumber-sumber lain yang tidak sempurna.
Wai Uhe
Dalam penuturan tradisi, sumur Wai Uhe ditemukan oleh seorang pemburu bernama Rowe Uran dengan anjingnya bernama Uhe.  Untuk mengenang Rowe Uran yang menemukan mata air ini, maka sebuah batu besar di depan sumur diberi nama Rowe Wato. Wai Uhe adalah  sumur perdana di Lewouran dan usianya diperkirakan sudah ribuan tahun. Butuh penelitan lebih mendetail dan panjang untuk memastikan usia sumur ini. Pada masa dulu, perkampungan masyarakat Lewouran terletak jauh dari laut. Mereka tinggal di kawasan-kawasan yang disebut, Rie-Rie dan Kebe. Perlahan sejarah memahat kesadaran akan sebuah peradaban sosial, mereka sepakat untuk membangun sebuah Kampung yang saat ini disebut Lewooki, artinya Kampung Lama. Dinamakan Lewooki karena pada pertengahan tahun 1970, oleh karena akutnya kekurangan akan air minum bersih, mereka meninggalkan tempat di wilayah bukit dan pegunungan itu untuk menempati lokasi baru di pesisir pantai Waiotan dan Tanjung Niwan, di hadapan Laut Sawu dan pulau Solor. Untuk melestarikan relasi antara masa kini dan masa lalu, tetapi lebih dari itu untuk melestarikan kesinambungan tradisi, di Lewooki ini telah diresmikan Lago Koke Bale Ure Wai pada tanggal 20 Oktober 2019.

Wai Uhe juga merupakan sebuah lokasi Nuba Nara untuk meminta air hujan. Menurut ibu Teresia Bura Muda, ada enam Nuba berada di sepanjang pesisir pantai Lewouran hingga timur ke Lewotobi dan ke barat ke Lewoawang. Ke-enam Nuba itu masing-masingnya berada di pantai Nara (Lewotobi),  pantai Waiotan,  Wai Uhe, Pantai Ele (Lewoawang), di Lewooki Lewouran serta di satu lokasi yang disebut Wato Manu (batu menyerupai ayam) di kawasan perbukitan Lewouran. Fungsi Nuba di Wai Uhe dan pantai Ele adalah untuk meminta air hujan.

Sebagai sebuah kawasan yang dipercayai memiliki kekuatan mistis, masyarakat Lewouran selalu berusaha untuk tidak berjalan sendirian ketika mencari ikan, atau menimbah air di kawasan ini. Masyarakat Lewouran meyakini bahwa sumur Wai Uhe bukan hanya merupakan sumber air bagi manusia saja tetapi juga bagi para arwah. Beberapa kisah yang dituturkan oleh para penutur tradisi setempat yang saat ini masih hidup, bahwa sudah banyak kisah mistis yang dialami oleh masyarakat Lewouran ketika berada di tempat ini. Pernah seorang bapak sendirian mencari ikan di dekat sumur. Tiba-tiba dia mendengar suara tawa seorang ibu di wilayah sumur. Suara itu kedengaran seperti suara seorang perempuan dari Kampung yang sudah sering dia dengar. Si bapak tadi mendengar seolah-olah perempuan tersebut sedang berbicara dengan banyak orang di wilayah sumur. Ketika si bapak tadi menoleh ke arah sumur, dia tidak melihat seorang manusia pun di sana. Dia memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Ketika beliau tiba di rumah dan menceritakan peristiwa itu kepada istrinya, langsung dia dikabarkan oleh sang istri bahwa perempuan tersebut baru saja meninggal dunia.
Wato Lota
Kawasan Pesisir pantai Lewouran mulai dari pantai Pede hingga ke pantai Ele, yang adalah Kene’e suku Muda Lewouran (secara geografis sudah masuk wilayah Desa Lewoawang ), setiap tempat memiliki nama dan makna tesendiri. Di bentangan kawasan Wai Uhe terhampar bebatuan yang tersusun rapih dan disebut dengan nama Wato Lota. Susunan alamiah batu-batu ini menampilkan bentuk yang bervariasi dan mudah dikaitkan atau diasosiasikan dengan benda-benda tertentu yang tentu saja syarat makna. Ada yang berbentuk seperti peti orang mati, ada yang seperti mahkota permaisur. Ada pula yang menyerupai ikan lumba lumba, kura-kura dan buaya. Bentuk lain yang kemudian menjadi ramai diperbincangkan atau viral adalah bentuk khas yang disebut Batu Roti. Jika menelusuri pesisir kawasan ini maka para pengujung dapat menyaksikan aneka bentuk susunan Wato Lota ini. Setiap susunan mengandung makna tersendiri. Satu lokasi, tidak jauh dari Wato Lota nimu, di dinding sebuah Wato Lota ada tulisan angka yang berbentuk sebuah pahatan.

Di antara bentangan kawasan Wato Lota ini, ada sebuah lokasi yang disebut Wato Lota nimu. Artinya Pusat Wato Lota.  Lokasi ini berada sekitar 50 meter ke arah timur dari sumur Wai Uhe. Dalam tuturan tradisi, tempat ini dipercaya sebagai Gereja Para Arwah. Penutur tradisi yang masih hidup, Bapak Herman Demo Uran, usia 89 tahun, menuturkan kisah mistis yang beliau alami bersama alhmarum Pater Van Stee di kawasan ini. Saat itu mereka menembak ikan. Oleh karena ombak besar, beliau meminta Pater Van Stee untuk tidak ikut menembak ikan. Ketika sudah berada di kejauhan untuk menangkap ikan, tiba-tiba Bapak Demo melihat Pater Van Stee berlutut dan memberikan salam hormat ke arah Wato Lota ini. Pulang dari wilayah ini Bapak Demo tidak ingin bertanya tentang apa yang dia saksikan tadi. Sampai hari ini dia tetap menyimpan misteri ini. Suatu saat, ketika Pater Lambertus Lamen Uran (alhmarum) mengunjungi keluarga mereka, barulah beliau menjelaskan bahwa Wato Lota nimu inilah yang selama ini dikenal sebagai tempat perkumpulan para arwah yang disebut Neme re’e. Ternyata Neme re’e adalah sebuah Gereja besar untuk para arwah. Beliau pun berpesan agar kawasan ini harus terus dijaga kesakralannya, sebagaimana yang dilakukan oleh para leluhur. Penturan tradisi lain lagi mengisahkan bahwa ketika ada warga Lewouran meninggal dunia, akan terdengar bunyi musik, seperti digelar sebuah pesta di lokasi ini. Hal ini dimaknai bahwa arwah orang yang meninggal dunia dijemput di sini secara meriah.

Kisah mistis lainnya dialami oleh beberapa orang yang datang memancing di malam hari. Saat memancig tiba-tiba mereka dihantam oleh desiran ombak dari arah darat. Jika salah memilih lokasi untuk duduk memancing, maka bahaya besar akan mengancam.

Wato Tena.

Di hamparan wilayah Wato Lota ini, ada sebuah batu seperti perahu yang disebut Wato Tena. Batu ini dipercayai sebagai Perahu Suku Kwure yang berubah wujud menjadi batu setelah mereka berlabuh. Perubahan wujud perahu menjadi batu menegaskan bahwa di kawasan inilah (Lewouran) suku Kwure akan memulai peradaban kehidupan baru dengan suku-suku yang sudah ada (suku Muda dan suku Uran. Selanjutnya Suku Kwure, menyusul Kewuta dan Kedang). Ulasan lengkap tentang sejarah Suku Kwure dapat di baca di dalam buku tentang Lewouran.


Garis Mistis Wai Uhe, Wato Lota dan Kawasan Nuha Telo

Di hadapan kawasan Wato Lota ini terdapat gugusan Nuha yang disebut Nuha Telo, yakni Nuha Witi, Nuha Kowa dan Nuha Bele. Ketiga Nuha ini dalam tuturan tradisi diyakini  juga sebagai lokasi para arwah. Bagi masyarakat Lewotobi, arwah orang yang meninggal dunia bergerak menuju Nuha Witi melalui jalur pantai Pede. Bagi orang Lewouran, arwah orang yang meninggal dunia bergerak menuju Wai Uhe untuk membersihkan diri, disambut di Wato Lota lalu bergerak menuju Nuha Kowa. Menurut Ibu Theresia Bura Muda, Nuha Kowa dipercayai sebagai ujung sebuah perjalanan. Para arwah dari Nuha Bele dan Nuha Witi berkumpul untuk pembagian lokasi kebun, sekaligus lokasi tempat tempat tinggal yang baru.


Wato Lota, Bolehkah diganti namanya?

Bagi para penutur tradisi di Lewouran, Nama Wato Lota TIDAK dapat diganti dengan sebutan lain. Ketika para penutur tradisi menegaskan tentang hal ini maka generasi muda Lewouran, semua yang berasal dari Lewouran dan siapa saja yang berkunjung ke tempat sakral ini tidak memiliki pilihan lain selain dengan tegas, jelas dan penuh hormat menggunakan nama asli di atas. Dengan menggunakan nama asli Wato Lota, maka seorang sekaligus menegaskan identitas mistis dengan segala keterkaitan sejarah dari sebuah Kampung yang bernama Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paju Wuri. Sebagaimana Nama Wai Uhe tidak bisa diganti dengan sebutan lain, demikian juga Wato Lota tidak dapat diganti dengan nama apapun. Sebuah adaptasi nama situs-situs bersejarah dan bernilai mistis dengan sebutan-sebutan modern dengan tujuan agar mudah disebut atau mudah dikenal orang asing, tidak mencerminkan rasa hormat terhadap keotentikan sebuah sejarah dan keluhuran sebuah tradisi.
Saat berjumpa dengan beberapa pengunjung di kawasan Wato Lota, khususnya di lokasi Wato Nimu, dijumpai pula beberapa wisatawan yang kebetulan sedang berkunjung ke tempat ini. Di sini mereka dijelaskan oleh penutur tradisi dari Lewouran tentang makna serta kesakralan tempat ini. Mereka merasa kagum dan bersyukur bahwa mereka mendapat pencerahan yang memperkaya wawasan mereka dan membangkitkan rasa hormat yang lebih besar terhadap situs-situs bersejarah dan sakral itu.


Pengembangan Kawasan Wai Uhe Wato Lota

Pengembangan kawasan ini sebagai destinasi Wisata harus dikemas dalam bingkai sosial budaya. Artinya filosofi masyarakat adat Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paji Wuri harus menjadi fondasi nilai untuk pengembangan kawasan ini.  Pada tanggal 1 Juni 2017, masyarakat Lewouran dan Lewotobi dalam semangat membangun Desa berbasis Budaya Ekologis telah memeteraikan poin-poin yang merupakan komitmen bersama. Beberapa diantaranya sudah diwujudkan, misalnya Konservasi Terumbu Karang, Penyu, dan menarasikan serta mendokumentasikan warisan leluhur dalam bentuk buku. Selain itu juga dilakukan upaya penataan kawasan sumur-sumur tua dan mendesign pengembangan Wisata Bahari Nuha Telo.
Arah design pengembangan wisata di kawasan ini sudah diletakan dalam konteks komitmen Lewo pada tanggal 1 Juni 2017 serta komitmen masyarakat Lewouran sendiri pada tanggal 20 Oktober 2018 bertempatan dengan kegiatan bedah buku di Balik kesunyian Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paju Wuri “. Untuk diketahui publik, pada kegiatan ini dimeteraikan pula komitmen Lewo yakni membangun rumah Koke Bale Ure Wai di Kampung Lama (Lewooki) serta penataan kawasan Wai Uhe. Untuk pembangunan rumah Koke Bale Ure Wai telah diresmikan pada tanggal 20 oktober 2019, genap setahun setelah komitmen dimeteraikan di balai Dusun Lewouran.

Bagi pemerintah Desa Lewotobi (dulu namanya Desa Birawan), sesuai dengan pengamatan penulis dan keterlibatan bersama selama ini, sudah benar bahwa membangun sebuah rencana dan sebuah design harus melalui sebuah proses diskusi dan dialog dengan masyarakat. Inilah pola yang tepat dalam membangun desa. Sebuah keputusan adalah hasil dari dialog dan proses transformasi kesadaran masyarakat, bukan mengikuti dan menerapkan perintah dari atas secara harafiah.
Ketika kawasan ini mulai ramai, banyak yang menyampaikan gagasan. Sebaik apapun gagasan, tanpa keterlibatan Lewo (masyarakat Lewouran), kawasan wisata ini dalam pengembangan selanjutnya bisa kehilang roh, nilai-nilai spiritualitas dan keotentikannya. Di dalam menggarap tulisan ini, Penulis sendri sudah sedang terlibat langsung dalam menata partisiapasi masyarakat setempat.
Bagi penulis, adalah sebuah tanggung jawab moral sebagai generasi keturuan Lewouran untuk membantu mengembangkan kawasan, walaupun untuk langkah awal ini hanya melalui tulisan. Tetapi langkah ini penting untuk menempatkan pendasaran yang benar untuk bisa membangun masa depan yang benar dan teratur. Jika tidak ada narasi yang benar tentang tuturan tradisi, maka bisa terjadi bahwa suatu waktu generasi sesudah ini akan kehilangan identitas dan nuansa tradisi. Karena membangun dan mengembangkan sesuatu di atas pijakan sejarah budaya dan peradaban adalah seni menterjemahkan tuturan nilai-nilai tradisi yang sudah diwariskan dari nenek moyang sekian ribuan tahun lamanya, syarat pesan moral dan kehidupan yang dititip dari generasi ke generasi.


Salam
Uran Faby
Penulis Buku Di Balik Kesunyian Lewouran Duli Detu Saka Ruka Paji Wuri.

keindahan panoram wai uhe wato lota dapat diakses dalam kumpulan foto ini





MENANTI PARA PENATALAYAN DEMOKRASI

  Geliat   Perayaan demokrasi, Pemilu serentak tahun 2024 semakin kuat.   Setiap tahapan telah dan sedang dikerjakan oleh KPU RI dan jajaran...